
Ilustrasi konsep restorative justice sebagai alternatif penyelesaian kasus kerusuhan di Makassar.
Tersangka Kerusuhan DPRD Makassar Minta Jalur Restorative Justice
Makassar — Sejumlah tersangka dalam perkara kerusuhan yang berdampak pada perusakan fasilitas kantor DPRD mengajukan permintaan agar perkara mereka dipertimbangkan melalui mekanisme restorative justice atau keadilan restoratif. Permintaan ini mengemuka di tengah proses penegakan hukum yang masih berjalan, memantik diskusi publik tentang ruang lingkup, batasan, serta dampak sosial dari pendekatan keadilan yang berorientasi pada pemulihan tersebut.
Apa Itu Restorative Justice?
Restorative justice (RJ) adalah pendekatan penyelesaian perkara yang menitikberatkan pada pemulihan kerugian dan perbaikan relasi antara pelaku, korban, dan masyarakat, alih-alih semata-mata menghukum pelaku. Praktik RJ lazim melibatkan dialog, mediasi, pengakuan kesalahan, permintaan maaf, dan kesepakatan ganti rugi atau tindakan pemulihan lainnya yang disepakati para pihak.
Konsep Dasar & Tujuan
- Memulihkan korban: memastikan kebutuhan korban—materiil maupun psikologis—diprioritaskan.
- Akuntabilitas pelaku: pelaku mengakui perbuatan, bertanggung jawab, dan menjalankan kewajiban pemulihan.
- Reintegrasi sosial: meminimalkan stigma, mengurangi potensi residivisme, dan memulihkan harmoni sosial.
- Efisiensi penegakan hukum: perkara yang memenuhi syarat bisa diselesaikan lebih cepat tanpa menggerus rasa keadilan.
Gambaran Perkara: Dampak Kerusuhan
Kerusuhan di kawasan gedung legislatif menimbulkan kerusakan fasilitas publik, gangguan layanan, serta rasa aman masyarakat yang menurun. Dalam konteks seperti ini, diskursus RJ menjadi kompleks karena harus menimbang hak korban langsung (misalnya petugas yang terluka, pemilik properti terdampak) dan korban tidak langsung (komunitas yang mengalami gangguan layanan dan rasa aman).
Mengapa Tersangka Mengajukan Restorative Justice?
- Pengakuan & penyesalan: tersangka bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf.
- Komitmen pemulihan: kesiapan mengganti kerugian, memperbaiki fasilitas, atau kerja sosial bagi masyarakat.
- Pertimbangan proporsionalitas: bagi pelanggaran tertentu yang memenuhi syarat, RJ dapat lebih proporsional ketimbang pidana penjara.
Apakah Semua Perkara Bisa Restorative Justice?
Tidak. Umumnya RJ memiliki batasan—misalnya mempertimbangkan tingkat kerugian, adanya korban, barang bukti, potensi gangguan ketertiban, dan persetujuan korban. Otoritas penegak hukum menilai kelayakan berdasarkan aturan internal, asas kepentingan umum, dan rasa keadilan. Perkara yang menimbulkan korban jiwa, kerusakan luas, atau mengancam keselamatan publik biasanya dinilai lebih ketat.
Peran Korban & Masyarakat
Esensi RJ adalah partisipasi sukarela. Korban berhak:
- menolak atau menerima skema RJ,
- menyampaikan harapan pemulihan (ganti rugi, permintaan maaf, layanan rehabilitasi),
- meminta jaminan ketidakberulangan (non-recurrence) dari pelaku.
Masyarakat—terutama komunitas sekitar lokasi—bisa dilibatkan dalam forum dialog terbatas untuk membahas bentuk pemulihan kolektif, seperti perbaikan fasilitas umum, kegiatan sosial, atau edukasi anti-kekerasan.
Skema Pemulihan yang Lazim
1) Ganti Kerugian & Perbaikan Fasilitas
Penggantian biaya kerusakan, perbaikan infrastruktur sederhana (misal: pengecatan, pembersihan), atau donasi sarana publik sesuai kesepakatan.
2) Permintaan Maaf Terbuka
Pernyataan maaf yang tulus—termasuk pengakuan kesalahan—dapat membantu memulihkan hubungan sosial serta mencegah polarisasi.
3) Kerja Sosial Terukur
Kegiatan sosial yang bermanfaat (misal: kerja bakti, pelatihan keterampilan masyarakat, atau program literasi hukum) dengan durasi dan indikator hasil yang jelas.
Manfaat & Risiko Pendekatan Restorative Justice
Manfaat
- Pemulihan nyata: fokus pada kebutuhan korban dan kerusakan yang terjadi.
- Pengurangan beban perkara: penanganan lebih cepat untuk kasus yang memenuhi syarat.
- Rehabilitasi pelaku: mendorong perubahan perilaku dan tanggung jawab sosial.
Risiko
- Re-traumatisasi korban: jika proses dialog tidak dikelola profesional.
- Ketimpangan daya tawar: korban bisa merasa tertekan jika tidak didampingi.
- Public interest: pada kasus yang menimbulkan keresahan luas, publik perlu diyakinkan bahwa pemulihan setara dengan rasa keadilan.
Bagaimana Prosesnya Jika Disetujui?
- Assesment kelayakan: penegak hukum menilai syarat formil-materiil dan mendengar keterangan para pihak.
- Fasilitasi mediasi: mediator/netral memimpin pertemuan; korban dapat didampingi penasihat.
- Kesepakatan tertulis: memuat bentuk pemulihan, tenggat waktu, dan sanksi bila ingkar.
- Monitoring & pelaporan: pelaksanaan diawasi dan dilaporkan ke otoritas terkait.
- Penyelesaian perkara: jika kesepakatan dipenuhi, perkara dapat dihentikan sesuai kewenangan dan ketentuan yang berlaku.
Perspektif Korban: Hak yang Harus Dijaga
Korban berhak atas informasi lengkap, pendampingan, dan kompensasi yang adil. Dalam praktiknya, keberhasilan RJ diukur dari terpenuhinya kepentingan korban, bukan sekadar dari tercapainya perdamaian administratif. Karenanya, transparansi proses dan dokumentasi pemulihan sangat penting.
Catatan Etis & Komunikasi Publik
Karena perkara menyangkut ruang publik dan simbol demokrasi, komunikasi kepada masyarakat perlu dilakukan secara terukur. Penjelasan mengenai alasan, syarat, dan bentuk pemulihan harus disampaikan terang agar tidak menimbulkan kesan impunitas. Prinsipnya, RJ bukan “jalan pintas”, melainkan opsi hukum yang bersyarat dan berorientasi pada pemulihan.
Kesimpulan
Permintaan jalur restorative justice oleh tersangka kerusuhan DPRD Makassar membuka ruang diskusi tentang keseimbangan antara penegakan hukum dan pemulihan sosial. Jika seluruh prasyarat hukum terpenuhi, korban setuju, dan ada jaminan pemulihan yang nyata, RJ dapat menjadi mekanisme yang adil dan bermanfaat. Namun, keputusan akhir tetap berada pada otoritas penegak hukum dengan mempertimbangkan bukti, dampak publik, dan rasa keadilan masyarakat.
dapatkan berita lainnya hanya si onesulsel.id